Rabu, Agustus 15, 2007

Keselamatan Umum di Negara yang Konyol

KECELAKAAN kereta api Gumarang di Grobogan, Jawa Tengah, mengingatkan kembali betapa kepentingan publik sangat tidak terjamin di negeri ini. Penyebabnya masih yang itu-itu lagi.

Pertama, karena negara yang lalai dan salah orientasi terhadap semua yang bertalian dengan kepentingan umum. Kedua, publik yang belum beradab yang menganggap rendah fasilitas umum seakan-akan ia tidak memerlukan fasilitas itu. Dan ketiga, kriminalitas yang kian bengis dan cerdas.


Kita semua menganggap perbuatan sinting orang memotong rel kereta api. Tetapi itulah yang terjadi di ruas antara Semarang dan Purwodadi yang menimpa kereta Gumarang awal pekan ini. Menurut catatan, di ruas tersebut telah terjadi lima kali kejahatan serupa.

Kok, bisa rel kereta api digergaji? Itu pertanyaan yang sekaligus memperlihatkan pemberontakan akal sehat. Tidak hanya pelaku yang konyol, tetapi negara, terutama PT Kereta Api, juga konyol. Konyol karena kok bisa membiarkan orang menggergaji rel tanpa diketahui?

Kekonyolan yang berputar-putar seperti itu sesungguhnya berakar pada persepsi dan komitmen terhadap kepentingan umum. Di Indonesia amat banyak fasilitas yang digembar-gemborkan sebagai fasilitas umum. Tetapi kehadiran fasilitas itu tidak dibarengi dengan komitmen pro bono publico demi kebaikan umum. Negara konyol, rakyat juga konyol menjaga komitmen itu.

Bila rel kereta itu berfungsi sangat vital terhadap keselamatan yang menjadi kepentingan umum, seharusnya penjaga atau pengawas rel diberi perhatian tinggi. Tetapi apa yang terjadi di Indonesia? Penjaga rel, termasuk masinis, adalah orang-orang yang paling disepelekan keamanan dan kenyamanannya. Itu disorientasi yang konyol dan masih dipertahankan. Padahal keselamatan umum amat bergantung pada masinis dan penjaga atau pengawas rel itu.

Sebagaimana komitmen negara yang masih sangat konyol terhadap kepentingan umum, komitmen warga terhadap kepentingan mereka sebagai bagian dari publik pun sama konyolnya. Andai kata tidak ada petugas yang mengawasi rel kereta api, dapat dipastikan dalam satu bulan kereta api di Indonesia berhenti beroperasi karena besi dan bantalan dari Jakarta hingga Surabaya sudah diambil dan dijual ke tukang loak.

Semangat warga untuk merawat dan meningkatkan martabat juga amat rendah. Lihat saja bagaimana nasib telepon umum dan toilet umum di tempat-tempat umum. Telepon dirusak, toilet dijadikan tempat sampah.

Di Sulawesi Tengah, beberapa waktu yang lalu seluruh komunikasi telepon macet di sejumlah kabupaten. Penyebabnya adalah kekonyolan. Yaitu ada warga yang mencuri kabel untuk dijual ke tukang loak.

Penerbangan di Bandara Soekarno-Hatta sempat pernah kacau balau karena anarkisme tukang ojek yang memblokade jalan tol. Mereka menuntut akses untuk mengangkut penumpang dari bandara.

Kepentingan umum hanya bisa terwujud di negara yang memiliki komitmen terhadap pro bono publico, dan didukung warga yang memiliki peradaban terhadap martabat dan kepatutan. Celakanya, di Indonesia negara dan warga sama-sama tidak memiliki komitmen pro bono publico sehingga sama-sama melabrak kepatutan.

Tetapi, adalah kesia-siaan untuk berharap peradaban warga muncul tanpa komitmen nyata dari negara terhadap kepentingan publik. Negara sebagai pemegang otoritas pemaksaan, harus mulai dengan penegakan hukum. Selama penegakan hukum oleh negara loyo, peradaban publik terhadap pro bono publico lenyap.

Terhadap kepentingan publik, kita harus jujur mengakui kita hidup di negara dan masyarakat yang konyol. Kecelakaan kereta api Gumarang adalah contoh kekonyolan itu.
Bila negara konyol dan masyarakat konyol, kejahatan memperoleh kesempatan luas untuk berbuat konyol.

Sumber : http://www.mediaindonesia.com/

Tidak ada komentar: